
Dalam setiap sendi kehidupan bermasyarakat, interaksi antar individu dan entitas hukum senantiasa diwarnai oleh hak dan kewajiban. Ketika salah satu pihak melampaui batas kewajibannya atau mengabaikan hak orang lain, potensi timbulnya konflik hukum tidak dapat dihindari. Salah satu konsep fundamental dalam hukum perdata yang menjadi payung bagi penyelesaian perselisihan semacam ini adalah “Perbuatan Melawan Hukum” (PMH), atau dalam terminologi Belanda dikenal sebagai onrechtmatige daad. Konsep ini, yang berakar kuat dalam Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), bukan sekadar sebuah pasal usang dalam kitab undang-undang, melainkan sebuah pilar keadilan yang menopang tatanan sosial.
PMH berfungsi sebagai mekanisme korektif, memungkinkan korban atas suatu perbuatan yang merugikan untuk menuntut ganti rugi, sekaligus memberikan disinsentif bagi pelaku untuk tidak mengulangi perbuatannya. Lebih dari sekadar kerugian materiil, PMH juga mencakup kerugian immateriil, memberikan ruang bagi penghargaan atas nilai-nilai non-finansial seperti nama baik, ketenangan jiwa, atau bahkan hak atas lingkungan hidup yang sehat.
Dalam konteks hukum Indonesia, PMH memiliki relevansi yang sangat besar. Berbagai kasus mulai dari sengketa tanah, pencemaran lingkungan, pelanggaran hak cipta, hingga perbuatan yang merugikan reputasi seseorang, seringkali bermuara pada gugatan PMH. Namun, pemahaman yang komprehensif tentang elemen-elemen PMH, dinamika perkembangannya, tantangan dalam pembuktiannya, serta signifikansinya bagi masyarakat, masih sering menjadi area perdebatan dan interpretasi.
Opini ini bertujuan untuk mengupas tuntas berbagai dimensi PMH, mengeksplorasi fondasi teoritisnya, implikasinya dalam praktik, dan relevansinya dalam mewujudkan keadilan di Indonesia. Dengan menganalisis berbagai aspek PMH, diharapkan dapat memperkaya pemahaman kita tentang bagaimana hukum berfungsi sebagai alat untuk menjaga keseimbangan dan melindungi hak-hak dasar setiap warga negara.
1. Telaah Perbuatan Melawan Hukum:
Pasal 1365 KUHPerdata menyatakan:
“Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.”
Dari rumusan singkat tersebut, para ahli hukum telah merumuskan unsur-unsur esensial yang harus dipenuhi agar suatu perbuatan dapat dikategorikan sebagai PMH dan menimbulkan kewajiban ganti rugi. Memahami anatomi ini krusial, karena setiap gugatan PMH harus mampu membuktikan keberadaan seluruh unsur tersebut.
A. Adanya Perbuatan
Unsur pertama dan paling mendasar adalah adanya suatu perbuatan, baik positif (melakukan sesuatu) maupun negatif (tidak melakukan sesuatu/pembiaran) yang dilakukan oleh seseorang. Perbuatan ini harus dapat diatribusikan kepada pelaku.
B. Melawan Hukum: Ini adalah inti dari PMH dan seringkali menjadi unsur yang paling kompleks untuk diinterpretasikan.
Pada awalnya, “melawan hukum” diartikan secara sempit sebagai bertentangan dengan undang-undang (hukum tertulis). Namun, seiring waktu, yurisprudensi dan doktrin hukum memperluas pengertian ini.
Dalam Artikel berjudul “Perbuatan Melawan Hukum dan Wanprestasi sebagai Dasar Gugatan” yang terbit pada laman hukumonline.com dijelaskan bahwa Putusan Hoge Raad (Mahkamah Agung Belanda) dalam kasus Perusahaan Percetakan antara “Lindenbaum vs Cohen” pada tahun 1919 menjadi tonggak penting yang memperluas makna “melawan hukum” tidak hanya pada pelanggaran undang-undang, tetapi juga perbuatan yang melanggar:
– Hak orang lain (hak subjektif).
– Kewajiban hukum pelaku.
– Kesusilaan (moralitas publik).
– Kepatutan dalam pergaulan masyarakat (sikap hati-hati dan cermat).
– Prinsip kehati-hatian atau kejelian yang seharusnya dilakukan dalam masyarakat.
Perluasan ini sangat signifikan karena memungkinkan penegakan hukum terhadap perbuatan yang meskipun tidak secara eksplisit dilarang oleh undang-undang, namun secara sosial dan moral dianggap tidak patut dan merugikan orang lain.
C. Adanya Kerugian: Untuk dapat menuntut ganti rugi, harus ada kerugian yang diderita oleh korban.
Kerugian ini bisa bersifat materiil (kerugian nyata yang dapat dinilai dengan uang, seperti biaya pengobatan, kehilangan keuntungan, kerusakan barang) maupun immateriil (kerugian yang sulit dinilai dengan uang, seperti kerugian moral, perasaan malu, sakit jiwa, atau hilangnya kenikmatan hidup). Penentuan besaran ganti rugi immateriil seringkali menjadi tantangan tersendiri bagi hakim.
D. Hubungan Kausalitas (Sebab-Akibat) antara Perbuatan dan Kerugian:
Harus ada hubungan yang jelas dan langsung antara perbuatan melawan hukum yang dilakukan dengan kerugian yang timbul. Dengan kata lain, kerugian tersebut harus merupakan akibat langsung dari perbuatan pelaku. Jika kerugian disebabkan oleh faktor lain yang tidak terkait langsung dengan perbuatan pelaku, maka unsur kausalitas tidak terpenuhi. Teori kausalitas yang umum digunakan di Indonesia adalah teori conditio sine qua non (syarat mutlak), di mana suatu perbuatan dianggap menjadi sebab jika tanpa perbuatan tersebut kerugian tidak akan terjadi. Namun, dalam perkembangannya, juga dikenal teori adequate causa (sebab yang layak), di mana sebab yang relevan adalah yang secara wajar dapat diduga akan menimbulkan akibat tersebut.
E. Adanya Kesalahan pada Pelaku: Unsur kesalahan mencakup unsur kesengajaan (dolus) atau kelalaian (culpa).
Pelaku dianggap bersalah jika ia sengaja melakukan perbuatan yang merugikan atau setidaknya ia lalai, tidak hati-hati, dan tidak memperhitungkan risiko yang mungkin timbul dari perbuatannya, padahal ia seharusnya mengetahui atau dapat menduga akibat dari perbuatannya tersebut. Dalam kasus tertentu, dikenal pula pertanggungjawaban tanpa kesalahan (strict liability), namun ini merupakan pengecualian dan biasanya diatur secara khusus dalam undang-undang, seperti dalam kasus pencemaran lingkungan oleh industri.
2. Evolusi Konsep PMH: Dari Pasal Menjadi Doktrin Hidup
Sejarah peradilan di Indonesia menunjukkan bahwa konsep PMH tidak statis, melainkan terus berkembang seiring dengan dinamika masyarakat dan kebutuhan keadilan. Interpretasi Pasal 1365 KUHPerdata tidak hanya bergantung pada teks undang-undang, tetapi juga pada putusan-putusan pengadilan (yurisprudensi) dan pandangan para ahli hukum (doktrin).
Awalnya, seperti disebutkan, makna “melawan hukum” sangat terbatas pada pelanggaran undang-undang. Namun, pengaruh yurisprudensi Belanda, khususnya kasus Lindenbaum vs Cohen, membawa perubahan fundamental.
Mahkamah Agung Belanda (Hoge Raad) secara eksplisit menyatakan bahwa perbuatan melawan hukum tidak hanya terbatas pada pelanggaran hukum tertulis, tetapi juga meliputi perbuatan yang bertentangan dengan kesusilaan atau kepatutan dalam pergaulan masyarakat. Putusan ini membuka pintu bagi perluasan cakupan PMH, menjadikannya alat yang lebih fleksibel untuk menegakkan keadilan.
Di Indonesia, adaptasi konsep ini terjadi secara bertahap. Para hakim mulai mengadopsi penafsiran yang lebih luas, mengakui bahwa perbuatan yang tidak secara langsung dilarang oleh undang-undang, namun secara jelas merugikan hak atau kepentingan orang lain dan bertentangan dengan norma kepatutan, dapat dikategorikan sebagai PMH.
Contohnya, tindakan persaingan usaha tidak sehat yang merugikan pesaing lain seperti yang dilakukan Cohen kepada Lindenbaum, meskipun belum ada pasal yang mengaturnya, dapat diadili melalui gugatan PMH. Perkembangan ini mencerminkan semangat hukum untuk selalu relevan dengan perkembangan sosial.
PMH, dari sekadar pasal dalam KUHPerdata, telah bertransformasi menjadi doktrin hukum yang hidup, terus menyesuaikan diri dengan nilai-nilai dan kebutuhan masyarakat. Hal ini menunjukkan bahwa hukum tidak selalu ketinggalan zaman, melainkan memiliki kapasitas adaptasi melalui interpretasi yang progresif oleh para penegak hukum. Peran hakim dalam mengisi kekosongan hukum dan mengembangkan hukum melalui yurisprudensi menjadi sangat krusial dalam konteks ini.
3. Tantangan Pembuktian dan Implikasi dalam Praktik
Meskipun PMH merupakan mekanisme yang kuat untuk menuntut keadilan, praktik pembuktiannya seringkali menghadapi berbagai tantangan. Dalam sistem hukum Indonesia, prinsip dasar adalah siapa yang mendalilkan, dia yang harus membuktikan (actori incumbit probatio). Artinya, penggugatlah yang memiliki beban untuk membuktikan seluruh unsur PMH sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya.
Tantangan utama seringkali terletak pada:
A. Pembuktian Unsur “Melawan Hukum” yang Luas
Ketika perbuatan yang digugat tidak secara eksplisit diatur dalam undang-undang, penggugat harus meyakinkan hakim bahwa perbuatan tersebut melanggar hak subjektif orang lain, bertentangan dengan kesusilaan, atau tidak sesuai dengan kepatutan dalam pergaulan masyarakat. Hal ini memerlukan argumentasi hukum yang kuat dan seringkali melibatkan penilaian subjektif hakim terhadap norma-norma sosial.
B. Pembuktian Hubungan Kausalitas
Dalam beberapa kasus, kerugian yang diderita mungkin memiliki beberapa penyebab. Menentukan secara definitif bahwa perbuatan tergugatlah yang menjadi sebab langsung dan dominan dari kerugian bisa sangat sulit, terutama dalam kasus yang kompleks seperti pencemaran lingkungan dengan banyak sumber polutan atau kerugian bisnis akibat fluktuasi pasar.
C. Penentuan Besaran Ganti Rugi Immateriil
Mengukur kerugian materiil relatif lebih mudah karena ada indikator finansial. Namun, menilai kerugian immateriil seperti penderitaan psikis, hilangnya kebahagiaan, atau kerusakan reputasi, adalah tugas yang sangat subjektif. Hakim harus menggunakan kebijaksanaan dan rasa keadilan untuk menetapkan jumlah yang dianggap pantas, yang seringkali memicu ketidakpuasan dari salah satu pihak.
D. Aspek Kesalahan
Terkadang, sulit untuk membuktikan apakah pelaku bertindak dengan kesengajaan atau kelalaian. Terutama dalam kasus kelalaian, batasan antara kelalaian yang dapat dipersalahkan secara hukum dan kesalahan yang tidak disengaja seringkali tipis.
Implikasi dari tantangan ini adalah bahwa tidak setiap kerugian yang diderita dapat dengan mudah dikompensasi melalui gugatan PMH. Proses litigasi bisa menjadi panjang, mahal, dan tidak selalu menghasilkan putusan yang memuaskan. Oleh karena itu, bagi pihak yang merasa dirugikan, penting untuk melakukan analisis mendalam terhadap kekuatan kasusnya dan mengumpulkan bukti yang kuat sebelum memutuskan untuk mengajukan gugatan. Alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan, seperti mediasi atau negosiasi, seringkali menjadi pilihan yang lebih efisien dan efektif.
4. Signifikansi PMH bagi Perlindungan Hak dan Keadilan Sosial
Terlepas dari tantangan pembuktiannya, konsep PMH memiliki signifikansi yang sangat besar bagi perlindungan hak-hak individu dan penegakan keadilan sosial.
A. Mekanisme Perlindungan Hak Subjektif
PMH adalah benteng utama bagi perlindungan hak-hak subjektif seseorang yang tidak diatur secara spesifik dalam kontrak atau perjanjian. Ini mencakup hak atas integritas fisik, hak atas nama baik, hak atas privasi, hak atas lingkungan hidup yang bersih, dan banyak lagi. Tanpa PMH, banyak kerugian yang disebabkan oleh perilaku tidak pantas tidak akan memiliki jalur hukum untuk mendapatkan kompensasi.
B. Pencegahan dan Disinsentif
Ancaman gugatan PMH berfungsi sebagai disinsentif bagi individu dan korporasi untuk tidak melakukan perbuatan yang dapat merugikan orang lain. Kesadaran akan potensi kewajiban ganti rugi mendorong pelaku untuk lebih berhati-hati, cermat, dan bertanggung jawab dalam setiap tindakan mereka.
C. Pengembangan Hukum melalui Yurisprudensi
Seperti yang telah dibahas, PMH adalah salah satu area hukum di mana yurisprudensi memiliki peran sentral dalam pengembangan hukum. Melalui kasus-kasus PMH, pengadilan dapat menafsirkan dan memperluas makna “melawan hukum” untuk mencakup situasi-situasi baru yang muncul seiring dengan perkembangan masyarakat. Ini memungkinkan hukum untuk tetap relevan dan responsif terhadap perubahan sosial.
D. Alat untuk Keadilan Sosial
Dalam beberapa kasus, PMH dapat digunakan sebagai alat untuk mewujudkan keadilan sosial, terutama dalam kasus-kasus yang melibatkan kerugian massal atau perbuatan yang berdampak luas pada masyarakat, seperti pencemaran lingkungan oleh korporasi besar atau pelanggaran hak asasi manusia oleh negara (meskipun ini lebih sering masuk ranah hukum publik, namun ada irisan perdata). Gugatan PMH memungkinkan kelompok masyarakat yang dirugikan untuk menuntut pertanggungjawaban dan kompensasi, sekaligus mendorong perubahan kebijakan atau praktik yang merugikan.
Singkatnya, PMH bukan hanya sekadar instrumen hukum untuk menyelesaikan sengketa perdata, tetapi juga merupakan fondasi yang memungkinkan individu untuk mencari keadilan ketika hak-hak mereka dilanggar, serta berperan penting dalam membentuk norma perilaku yang bertanggung jawab dalam masyarakat.
Kesimpulan
Konsep Perbuatan Melawan Hukum (PMH) adalah salah satu perangkat hukum paling fundamental dan serbaguna dalam sistem hukum perdata, yang memainkan peran vital dalam menjaga keseimbangan antara kebebasan individu dan perlindungan hak-hak orang lain.
Sebagaimana telah diuraikan, Pasal 1365 KUHPerdata, meskipun singkat, telah menjadi landasan bagi pengembangan doktrin yang kompleks dan adaptif, mampu merespons dinamika perubahan sosial dan moralitas publik. Dari tafsir yang sempit pada masa lalu, PMH kini telah berkembang menjadi konsep yang mampu menjangkau berbagai perbuatan yang bertentangan dengan undang-undang, hak subjektif, kesusilaan, maupun kepatutan dalam pergaulan masyarakat.
Pentingnya PMH terletak pada kemampuannya untuk memberikan jalur hukum bagi individu yang dirugikan untuk mendapatkan kompensasi, baik materiil maupun immateriil, atas perbuatan yang tidak semestinya. Lebih dari sekadar mekanisme ganti rugi, PMH juga berfungsi sebagai instrumen pencegahan, mendorong setiap entitas untuk bertindak dengan hati-hati dan bertanggung jawab, menyadari potensi konsekuensi hukum dari tindakan mereka. Yurisprudensi yang terus berkembang dalam kasus-kasus PMH adalah bukti nyata bagaimana hukum dapat berevolusi, beradaptasi dengan tantangan kontemporer, dan mengisi kekosongan yang mungkin tidak terantisipasi oleh pembuat undang-undang. Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa implementasi PMH dalam praktik seringkali dihadapkan pada tantangan yang signifikan, terutama terkait dengan pembuktian unsur-unsur yang luas dan penentuan besaran ganti rugi yang adil.
Kompleksitas ini menggarisbawahi pentingnya profesionalisme dan kehati-hatian bagi para pihak yang terlibat dalam sengketa PMH, serta peran krusial bagi hakim untuk menafsirkan hukum dengan bijaksana dan berlandaskan rasa keadilan.
Pada akhirnya, keberadaan dan penerapan PMH adalah manifestasi dari komitmen negara untuk melindungi warga negaranya dari kesewenang-wenangan dan ketidakadilan. Ini adalah pengingat bahwa dalam masyarakat yang beradab, setiap tindakan memiliki konsekuensi, dan bahwa hukum senantiasa hadir sebagai tumpuan bagi mereka yang mencari keadilan. Oleh karena itu, pemahaman yang mendalam tentang PMH bukan hanya penting bagi praktisi hukum, tetapi juga bagi setiap individu agar dapat memahami hak dan kewajibannya dalam interaksi sosial, demi terciptanya tatanan masyarakat yang lebih adil dan harmonis.
Referensi:
* Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata).
* Perbuatan Melawan Hukum dan Wanprestasi sebagai Dasar Gugatan (2001). Diakses dari https://www.hukumonline.com/berita/a/perbuatan-melawan-hukum-dan-wanprestasi-sebagai-dasar-gugatan
* Apa itu Perbuatan Melawan Hukum dalam Pasal 1365 KUHPerdata? (2023). Diakses dari https://www.hukumonline.com/klinik/a/apa-itu-perbuatan-melawan-hukum-dalam-pasal-1365-kuh-perdata