
Oleh: Wahyu Kurniawan
Tren ketegangan antara pelaku usaha dan Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) mencuat kuat beberapa waktu terakhir. Alih-alih menjadi jembatan keadilan bagi pencipta, royalti yang dihimpun lewat LMKN justru menimbulkan gejolak dan ketidakpuasan banyak pihak. Ketidaksetujuan terhadap praktik ini semakin layak untuk jadi kajian serius dan bahkan layak diusut.
1. Transparansi Tolol, Pelaku Usaha Memprotes
Kritik muncul dari berbagai sudutmusisi dan pengusaha. Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI), Haryadi B. Sukamdani, menyebut mekanisme LMKN “seperti preman”, karena menyasar pelaku usaha tanpa aturan jelas dan transparan. Hal ini mencerminkan ketidaksiapan sistem dalam meredam kebingungan dan frustrasi pelaku usaha.
2. Kena Tuduhan Manipulasi Royalti
LSM LIRA bahkan menduga adanya manipulasi dalam distribusi royalti oleh LMKN maupun LMK. Ketua Umumnya, HM Jusuf Rizal, menyoroti ketidakteraturan laporan dan ketiadaan audit yang layak. Apabila tudingan ini terbukti, berarti royalti, yang seharusnya menjadi sumber kesejahteraan bagi pencipta, justru menjadi sarang ketidakadilan.
3. Regulasi Tak Jelas, UMKM Terbebani
Menteri Ekonomi Kreatif, Teuku Riefky Harsya, menegaskan perlunya pembenahan regulasi karena persoalan tidak sekadar soal pembayaran, melainkan akuntabilitas LMKN. Jika aturan dan sistem akuntansi organisasi kolektif tak rapi, maka UMKM seperti kafe dan restoran akan dirugikan. Tidak bisa dibenarkan pelayanan yang seharusnya memungut sesuai kewajaran malah mendorong pelaku usaha berhenti memutar musik demi menghindari masalah.
4. Distribusi Minim dan Tidak Adil
Perbandingan mengejutkan muncul dari data bahwa total royalti yang dikumpulkan oleh LMKN hanya mencapai Rp270 miliar per tahun para pencipta musik memang tampak mendapat royalti, tetapi jumlahnya sangat kecil jika dibandingkan negara tetangga seperti Malaysia. Jika jumlah ini saja sudah minimal, pertanyaannya adalah: bagaimana caranya royalti yang ada bisa didistribusikan secara proporsional kepada pencipta yang telah berkarya?
5. Dualisme Peran dan Kebingungan Siber
Sistem administrasi LMK dan LMKN juga dipertanyakan karena rentan menimbulkan kebingungan bagi musisi: organisasi mana yang seharusnya diikuti? Praktik ini mencederai prinsip pemilikan hak cipta pribadi dan mengaburkan akuntabilitas publik.
Saatnya Investigasi
Praktik royalti yang dijalankan LMKN saat ini menimbulkan kegaduhan serius: ketiadaan transparansi, dugaan manipulasi distribusi, dasar hukum yang lemah, serta sistem yang membebani pelaku usaha. Ini bukan sekadar soal aduan ini soal keadilan ekonomi bagi pencipta, kredibilitas lembaga kolektif, dan keberlanjutan industri hiburan kreatif Indonesia.
Sudah waktunya otoritas terkait, seperti DPR, Kemenkumham, atau pihak pemerintah independen, melakukan audit dan evaluasi menyeluruh terhadap LMKN baik dari sisi hukum, keuangan, dan akuntabilitas. Tanpa itu, tata kelola royalti bisa merusak kepercayaan publik dan melemahkan tujuan pemberdayaan kreator.