
Di tengah wajah kepolisian hari ini yang kerap tercoreng oleh kasus kekerasan, korupsi, dan arogansi kekuasaan, nama Hoegeng kembali bergema, bukan sebagai nostalgia, tapi sebagai kritik.
Hoegeng adalah simbol bahwa polisi bisa jujur, sederhana, dan berpihak pada rakyat. Ia melawan mafia, menolak suap, bahkan jika harus kehilangan jabatan. Tapi hari ini, terlalu banyak polisi yang justru membela kepentingan elit, hidup mewah, dan menjadikan seragam sebagai alat menekan.
Masalahnya bukan hanya pada oknum, tapi pada budaya. Polisi baik masih ada, tapi sering tak diberi ruang. Kepolisian butuh lebih dari reformasi, ia butuh ingatan, bahwa dulu pernah ada Hoegeng, dan semestinya, ia bukan satu-satunya.
Masa Kecil dan Pendidikan
Hoegeng Iman Santoso lahir pada 14 Oktober 1921 di Pekalongan, Jawa Tengah. Ia berasal dari keluarga Jawa yang sederhana namun menjunjung tinggi nilai moral dan pendidikan. Ayahnya merupakan seorang pegawai pemerintah zaman kolonial Belanda yang dengan dispiplin membentuk karakter disiplin dan nasionalisme dalam diri Hoegeng kecil.
Hoegeng menempuh pendidikan dasar di HIS (Hollandsch-Inlandsche School), kemudian melanjutkan ke MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) dan AMS (Algemene Middelbare School) di Yogyakarta. Ia dikenal sebagai siswa cerdas dan aktif di berbagai kegiatan yang nantinya menghantarkan dia bersekolah di Batavia.
Setelah lulus AMS, Hoegeng melanjutkan studi di Rechts Hoge School (Sekolah Tinggi Hukum) di Batavia (kini Jakarta). Namun, masa studinya terganggu oleh kedatangan tentara Jepang pada tahun 1942 yang menyebabkan sekolahnya dibubarkan, yang ia kemudian menghantar kan Hoegeng bekerja di berbagai kantor pemerintah Jepang, termasuk sebagai penerjemah dan staf administrasi yang dalam situasi ini memperkuat jiwa nasionalisnya.
Karier
Setelah Indonesia merdeka, Hoegeng bergabung dengan Kepolisian Negara pada awal 1946. Ia mengikuti pelatihan dan menjadi bagian dari generasi awal perwira polisi Republik Indonesia. Dengan kepribadiannya yang tegas, jujur, dan berintegritas, kariernya cepat menanjak.
Beberapa posisi penting yang pernah diemban Hoegeng antara lain:
– Kepala Polisi Wilayah Sumatra Utara
– Kepala Jawatan Imigrasi
– Direktur Reserse Kriminal
– Kepala Polisi Kota Besar Jakarta
– Menteri Sekretaris Negara (1966)
– Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Kapolri) (1968–1971)
Diangkat sebagai Kapolri oleh Presiden Soeharto pada 9 Mei 1968, Hoegeng dikenal sebagai pemimpin reformis dan pejuang anti-korupsi. Ia menjalankan tugasnya secara langsung, bahkan beberapa kali menyamar untuk membongkar pungli dan praktik mafia. Salah satu tindakannya yang terkenal adalah mengungkap mafia pelabuhan dan tanah di Jakarta, yang banyak melibatkan tokoh kuat.
Ia juga memperjuangkan agar kepolisian independen dari militer dan politik. Namun, keberaniannya membuatnya kurang disenangi oleh lingkaran kekuasaan Orde Baru. Hoegeng akhirnya diberhentikan dari jabatannya pada 1971, hanya setelah tiga tahun menjabat. Meski diberhentikan lebih awal, ia tetap dikenang sebagai Kapolri paling bersih dan idealis.
Masa Pensiun
Setelah pensiun, Hoegeng tidak aktif dalam dunia politik maupun bisnis. Ia menolak semua bentuk gratifikasi dan hidup dengan pensiun seadanya. Ia lebih banyak menghabiskan waktu dengan keluarga dan hobinya, terutama bermain musik keroncong. Bahkan ia tergabung dalam grup musik “The Hawaiian Seniors” bersama sejumlah sahabatnya.
Hoegeng kerap hadir dalam program-program televisi dan radio, menyampaikan pandangannya soal etika, kepemimpinan, dan pelayanan publik. Namun ia tetap rendah hati, tidak pernah mencitrakan diri berlebihan. Ia juga aktif mendorong anak muda agar tetap menjunjung integritas.
Akhir Hayat dan Warisan Moral
Hoegeng wafat pada 14 Juli 2004 di Jakarta, dalam usia 82 tahun, setelah menjalani perawatan akibat penyakit komplikasi. Ia dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta Selatan, dengan upacara militer.
Masyarakat mengenangnya bukan hanya sebagai mantan Kapolri, tetapi sebagai sosok moral bangsa, seorang pemimpin yang tak tergoda oleh kekuasaan dan harta. Banyak yang menyebut, jika Hoegeng masih hidup, ia akan sangat kecewa melihat sebagian penyimpangan yang masih terjadi di institusi yang pernah ia pimpin.
Sumber: Abrar Yusra & Ramadhan K.H. (1993). Hoegeng: Polisi Idaman dan Kenyataan.