
Oleh: Dr. Adian Husaini
(Direktur At-Taqwa College Depok))
Ada banyak hal menarik dari kisah pendidikan Buya Hamka, sebagaimana diungkap Bambang Galih Setiawan, dalam buku Perjuangan dan Pemikiran M. Natsir dan Hamka dalam Pendidikan (Jakarta: GIP, 2020). Salah satunya, adalah kisah Hamka berguru langsung pada tokoh-tokoh besar di Yogya, pada umur 16 tahun.
Buya Hamka (1908-1981) bukanlah seorang otodidak, dalam arti belajar sendiri – tanpa guru. Tapi, Hamka berguru langsung dengan para tokoh hebat. Model pendidikan seperti inilah yang ideal. Hamka berinteraksi intensif dengan sejumlah guru-guru hebat, sehingga ia menjalani proses pendidikan yang menanamkan adab sebagai pondasi pengembangan keilmuannya.
Kehidupan pribadi Hamka sebenarnya tak sepi dari ujian. Meskipun ayahnya seorang ulama besar, yakni Haji Abdul Karim Amrullah (1879-1945 M), tetapi hubungan dengan ayahnya sempat kurang harmonis. Kedua orang tuanya bercerai saat Hamka berumur 12 tahun.
Hamka pergi ke Mekkah tanpa sepengetahuan ayahnya. Sepulangnya dari Mekah, ia pun tidak langsung ke kampung tempat tinggal ayahnya di Padang Panjang. Setelah dibujuk kakak iparnya, A.R. Sutan Mansur, barulah ia mau kembali ke kampungnya. Akhirnya, Hamka sangat terharu dengan sambutan ayahnya, sepulang ia dari Mekkah. Figur lama ayahnya telah terhapuskan, dan kini ia mendapatkan kepercayaan dan perhatian baru ayahnya, yang kelak banyak membawanya memerankan amanah sebagai pengurus Muhammadiyah di Sumatera.
Hamka menikah pada umur 21 tahun. Istrinya saat itu berusia 15 tahun. Hidupnya pun bergelimang dengan kesusahan. “Kami hidup dalam suasana miskin. Sembahyang saja terpaksa berganti-ganti, karena di rumah hanya ada sehelai kain sarung. Tapi Ummi kalian memang seorang yang setia. Dia tak minta apa-apa di luar kemampuan ayah” Dari istrinya, Siti Raham inilah, Hamka memperoleh 12 anak.
Guru-guru hebat
Hamka kecil tergolong anak “nakal”. Di waktu ngaji ke surau dia hanya pergi sebentar, kemudian dia pergi mengintip film yang sedang ditayangkan di bioskop. Hamka kecil senang berkelahi, tapi jarang menang. Namun, ia suka menjadi kepala dari teman-temannya. Kalau keinginannya tidak dituruti, kawannya akan diganggu. Singkatnya antara umur tujuh sampai sepuluh tahun, tidak ada orang di sekeliling Padang Panjang yang tidak mengenal anak nakal ini. Hamka bahkan pernah selama lima belas hari tidak masuk ke sekolah tanpa sepengetahuan ayahnya. Sehingga gurunya datang ke rumahnya dan melaporkannya ke ayahnya.
Hamka sempat dimasukkan di sekolah Desa atau disebut juga sebagai Sekolah Arab di Padang Panjang. Namun hanya sampai kelas dua, karena ia mengikuti ayahnya untuk pulang kampung pada dua bulan sebelum bulan puasa tahun 1918.
Karena keinginan ayahnya agar ia kelak menjadi seorang ulama, maka Hamka dipindahkan dari Sekolah Desa ke Madrasah Tawalib. Pagi dimasukkan di Sekolah Diniyah, sore ke Sekolah Tawalib. Di Sekolah Diniyah ia diajarkan menulis dan membaca menggunakan huruf Melayu dan huruf latin, serta pelajaran-pelajaran agama. Adapun di Sekolah Tawalib ia mendapatkan materi nahwu, sharaf, fiqih, hadis dan lainnya. Pelajaran-pelajaran itu bagi Hamka memang setingkat dengan universitas saat ini.
Di Sumatera Thawalib yang dibangun oleh ayahnya ini, Hamka mempelajari ilmu agama dan mempelajari bahasa Arab. Awalnya Sumatera Thawalib adalah sebuah perkumpulan murid-murid atau pelajar mengaji di Surau Jembatan Besi Padang Panjang dan Surau Parabek Bukit Tinggi, Sumatera Barat. Namun dalam perkembangannya, perkumpulan ini menjadi lembaga pendidikan sekolah dan perguruan, yang mengubah pengajian surau jadi berkelas.
Hamka juga belajar bahasa Inggris pada Sutan Marajo. Ia kemudian menemukan kesenangan barunya di Perpustakaan Zainaro, yang didirikan oleh Engku Zainuddin Labay dan Sinaro. Hampir setiap hari ia datang ke perpustakaan itu untuk meminjam buku dan membantu-bantu agar dapat membaca banyak buku.
Pada tahun 1924 (umur 16 tahun), Hamka berangkat ke Jawa. Di sinilah ia mulai menemukan gairah belajar agama. Sekitar sebulan Hamka belajar, ia baru merasakan bahwa selama ini seakan ia belum pernah belajar agama. Ia dahulu baru belajar kaidah dan hukum-hukum, namun ia belum mendapatkan tentang makna dan penggunaannya ketika menghadapi realitas.
Pada pagi hari Hamka diajak mengikuti kajian tafsir di rumah Ki Bagus Hadikusumo memakai Tafsir Baidhawi menggunakan bahasa Melayu (Jawi). Ketika itu Syarikat Islam dan Muhammadiyah memiliki hubungan rapat dan bersemangat dalam membela Islam dari desakan Zending Kristen serta komunis.
Sedangkan di Sumatera Barat, Hamka sejak kecil mendapatkan ulama-ulamanya sibuk dalam perdebatan-perdebatan sengit kaum muda dengan kaum tua tentang perbedaan kecil mengenai fiqih.
Hamka kemudian diajak untuk ikut belajar di Syarikat Islam. Ia mendapatkan pelajaran dari tiga tokoh besar dalam sejarah tanah air, yaitu H.O.S. Cokroaminoto, R.M. Suryopranoto, dan H. Fakhruddin, yang kelak kemudian menjadi pemimpin terkenal Muhammadiyah.
Saat itu, Hamka sudah ikut aksi memperingati Maulid Nabi, yang tidak kurang dari 20.000 orang dan semuanya membawa bendera kertas bertulis “Al Islam” berwarna hijau. Dimasa itu juga ia ikut rapat pertama pendirian “Jong Islamieten Bond”.
Pada 1925 berangkatlah Hamka dari Jogya ke Pekalongan. Enam bulan lamanya ia tinggal dengan iparnya A.R. St. Mansur, seorang aktivis gerakan Muhammadiyah. Tokoh inilah yang mendididik kepribadiannya. Setahun belajar di Jawa inilah, Hamka muncul menjadi pemuda dengan pandangan baru tentang Islam.
Ia sudah mulai pandai berpidato dalam pertemuan-pertemuan ramai dengan berisi. Ketika di Sumatera, ia tanamkan perasaan pada dirinya, yaitu gabungan dari didikan Cokroaminoto, Suryopranoto, Fakhruddin, Ki Bagus Hadikusumo dan St. Mansur.
Beginilah sepenggal kisah pendidikan Buya Hamka. Tampak begitu besar peran guru-guru heba yang mendidiknya, sehingga ia menjadi ulama yang mewarisi sifat-sifat kenabian (waratsatul anbiya).
Jadi, dalam pendidikan, yang terpenting bukan formalitasnya; bukan sekolah atau kuliah dimana, tetapi ia belajar apa dan kepada siapa. Di sinilah pentingnya faktor guru dan metode pendidikannya. Jangan sampai hal yang substansi dikalahkan oleh faktor gengsi institusi. (Depok, 25 Juni 2020)