
Aku berjalan
di antara luka dan bara,
bukan karena aku tak takut terbakar,
tapi karena diam
lebih membunuh
dari api mana pun.
Langit hitam itu,
pernah kubentak dengan suara lantang:
“Aku tak hendak tunduk
pada dusta yang dilukis indah!”
Orang-orang berkata padaku,
“Kebenaran itu tajam, kawan.”
Ku balas dengan karang
“Biarlah ia melukaiku,
asal bukan aku yang jadi pembohong.”
Tahukah engkau?
Yang tegak karena benar
sering dibuang lebih dulu.
Dicibir, dibenamkan,
lalu dilupakan
seolah tak pernah ada.
Tapi kebenaran tak butuh sorak-sorai—
ia hanya butuh
mereka yang tetap berdiri
meski sendiri.
Di dadaku,
masih kugenggam bara itu.
Meski telapak terbakar,
takkan kulepas.
Lantanglah!
Berapa lama lagi kebenaran harus dipukul,
diseret, diludahi,
sementara dunia menepuk tangan
atas kebohongan yang jadi raja?