
Dra. Nyi Hj. Hayati Nufus lahir di Petir, Kabupaten Serang, pada 25 November 1936 dari pasangan KH. Muhamad Juhri dan Nyi Hj. Mahdiah. Ayahnya adalah seorang ulama pejuang yang tak disukai penjajah karena memiliki pesantren yang tumbuh pesat. Akibatnya, ia dibuang ke Digul, lalu wafat dalam pengasingan. Disusul ibunya tak lama kemudian, membuat Nufus kecil menjadi yatim piatu sejak usia 3 tahun.
Kehilangan itu tidak membuatnya tenggelam. Ia dibesarkan dalam naungan kasih kakak sulungnya yang menjadi guru, pelindung, dan inspirator. Dari keluarganya, ia tumbuh dalam tradisi pesantren yang kuat, sebagai anak keempat dari lima bersaudara. Nama-nama seperti Ki Ajurum dan KH. Muhammad Haedar menunjukkan bahwa ia lahir dari keluarga yang menaruh martabat tinggi pada pendidikan dan perjuangan.
Kecerdasan Hayati Nufus sudah tampak sejak sekolah dasar di kampung halamannya. Ia tak hanya unggul di bidang akademik, tapi juga tahan uji dalam menghadapi tantangan hidup. Setelah SD, ia melanjutkan ke SMPN 1 Serang dengan penuh perjuangan, bahkan harus tinggal berpindah-pindah karena jarak sekolah yang jauh dari rumah.
Masa SMA ia habiskan di Bandung, tinggal di rumah keluarga ayahnya. Kota ini menjadi ladang baru untuk menanam cita-cita yang lebih tinggi. Selepas SMA, ia melangkah ke Yogyakarta, memilih kuliah di salah satu Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri yang dikelola Kementerian Agama. Jurusan Tarbiyah menjadi ruang konsistensinya dalam menimba ilmu dan membangun visi pendidikan.
Di Yogyakarta pula, ia mulai aktif dalam organisasi kemahasiswaan, termasuk Aisyiyah Muhammadiyah dan Keluarga Banten Yogyakarta. Pergaulannya dengan para tokoh seperti Rafiuddin Akhyar membuat pemikiran dan kiprah sosialnya tumbuh lebih terbuka. Di tengah lingkungan NU keluarganya, ia memilih menanam karya di Muhammadiyah, tanpa menghapus akar tradisi.
Hayati Nufus dikenal sebagai perempuan pertama di Banten yang meraih gelar sarjana. Pencapaian ini menjadi tonggak penting dalam sejarah perempuan di wilayah tersebut. Ia kembali ke Serang dengan identitas baru: bukan hanya sebagai putri pesantren, tetapi juga intelektual Muslimah yang membawa bekal akademik dan visi pembaruan.
Ia mengajar di IAIN SMH Banten sejak 1964, menjabat sebagai Wakil Dekan Fakultas Tarbiyah, dan kemudian menjadi dosen di Institut Agama Islam Banten (IAIB). Di luar kampus, ia mendirikan dan memimpin organisasi Aisyiyah PCA Tirtayasa sejak 1965, menjadikannya sebagai motor penggerak pemberdayaan perempuan di Serang.
Salah satu warisan terbesarnya adalah pendirian AKBID Aisyiyah Banten. Saat pertama kali menggagasnya pada tahun 2000, tak sedikit yang mencibir. Tapi keyakinannya kuat. Ia rela menjadikan rumah dan tanah sebagai agunan untuk mendapatkan pinjaman bank. Empat tahun kemudian, AKBID berdiri megah. Ia pun mengajar di sana hingga akhir hayat, mengampu mata kuliah Al-Islam dan Kemuhammadiyahan.
Di sisi lain, Hayati Nufus adalah tokoh sosial yang aktif membina majelis taklim dan memelopori gerakan orang tua asuh sejak 1965. Puluhan anak yatim dan miskin dibantunya hingga menjadi sarjana. Tak jarang ia mengulurkan tangan bahkan untuk yang tak memiliki hubungan darah, selama ada semangat belajar dalam diri mereka.
Meski baru menikah pada usia 45 tahun dengan Sukarni Abdul Rauf, kehidupan rumah tangganya penuh kehangatan. Ia adalah istri yang shalihah, sederhana, dan tetap menjalankan peran domestik meski sibuk di luar. Pasangan ini mengangkat Maman, anak dari keponakannya, sebagai anak angkat, yang kini meneruskan kiprah sang ibu di AKBID.
Kontribusinya juga terlihat dalam pembangunan Gedung Dakwah Muhammadiyah Kabupaten Serang di tahun 1980-an. Ia menjadi tokoh sentral dalam penggalangan dana dan wakaf. Bahkan, perhiasan pribadinya ia sumbangkan untuk mewujudkan gedung itu, yang kini menjadi pusat dakwah, PAUD, TK, dan kegiatan sosial Aisyiyah.
Menjelang akhir hayat, ia mengalami komplikasi penyakit yang cukup berat: gula darah tinggi, masalah lambung, hingga komplikasi jantung dan paru-paru. Ia sempat dirawat di berbagai rumah sakit, termasuk RS Pelni Jakarta. Di sinilah, pada 15.45 WIB, ia wafat setelah sebelumnya sempat dinyatakan membaik.
Di mata keluarga dan masyarakat, Hayati Nufus adalah figur yang tak tergantikan. Ia adalah simbol keteladanan perempuan Banten yang kuat dalam ilmu, kokoh dalam iman, dan lapang dalam pengabdian. Karyanya tak hanya tercatat dalam dokumen sejarah, tetapi hidup dalam institusi dan manusia-manusia yang pernah ia sentuh.
Warisan intelektual, sosial, dan spiritualnya menunjukkan bahwa peran perempuan dalam membangun peradaban tak bisa dianggap enteng. Ia tidak hanya memperjuangkan kesetaraan dalam wacana, tetapi mengartikulasikannya dalam tindakan nyata—mendirikan sekolah, membina masyarakat, hingga melahirkan generasi terdidik yang kelak turut mengubah wajah Banten.
Kini, namanya mungkin tak sering disebut di panggung publik, namun jejaknya hadir dalam bentuk-bentuk yang lebih tenang: lembaga pendidikan, amal sosial, dan semangat perempuan yang terus melangkah. Ia adalah simbol perempuan Banten yang intelektual, visioner, dan dermawan. Seorang guru kehidupan yang namanya akan terus dikenang. Nyi Hayati Nufus adalah pelita yang tidak padam, meski lentera raganya telah tiada.
Referensi: Buku Ulama Perempuan Banten: Dari Mekkah, Pesantren, dan Majelis Taklim untuk Islam Nusantara karya Mufti Ali, Nihayatul Masykuroh, dkk. (Penerbit Bildung, 2017).