
JAKARTA | PROGRESIFMEDIA.ID โ Analisis Komunikasi Politik Hendri Satrio (Hensa) mengaku tidak kaget dengan keputusan Presiden Prabowo Subianto, yang menetapkan empat pulai kecil yang sempat menjadi sengketa antara Aceh dan Sumatera Utara sebagai bagian dari wilayah Aceh.
Menurut Hensa, keputusan ini mencerminkan sensitivitas politik Prabowo dalam merespons dinamika lokal.
“Saya ngga kaget dengan keputusan Prabowo yang menetapkan empat pulau tersebut menjadi milik Aceh. Ini menunjukkan Presiden paham akan pentingnya menjaga stabilitas dan mendengarkan aspirasi Aceh, yang dari awal merasa berhak atas pulau-pulau itu,” Kata Hensa kepada wartawan, Rabu (18/6/25).
Namun ia menyoroti keputusan Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian yang sebelumnya memberikan empat pulau tersebut kepada Sumatera Utara pun perlu diperdalam.
“Jangan lupa telusuri kenapa Mendagri Tito Sempat mengeluarkan keputusan yang memicu polimik hingga akhirnya Presiden yang harus turun tangan,” tegasnya.
Menurut Hensa, langkah Tito tersebut lagi-lagi mencerminkan kurangnya komunikasi dengan pihak-pihak terkait, sekaligus memperpanjang permasalahan komunikasi di kabinet Prabowo.
“Kalau komunikasi dilakukan sejak awal, pasti Tito akan mendapatkan masukan penting, terutama dari Aceh, dan urusan ini tidak perlu sampai ke meja Presiden,” Jelas Tito.
Ia menilai, keputusan Prabowo menetapkan pulau-pulau tersebut ke Aceh adalah langkah strategis untuk meredakan ketegangan, sekaligus menggambarkan bahwa masalah komunikasi ini masih menjadi tantangan bagi kabinet Prabowo.
“Komunikasi adalah kunci. Menteri harus proaktif berkomunikasi dengan berbagai pihak agar tidak membebani presiden dengan masalah yang sebenarnya bisa dicegah,” pungkasnya.
Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian mengungkap kronologi sengketa Pulau Lipan, Pulau Mangkie Gudang, Pulau Mangkir Ketek dan Pulau Panjang oleh Provinsi Aceh dan Provinsi Sumatera Utara (Sumut).
Dimana, empat pulau tersebut melalui Keputusan Menteri Dalam Negeri (Kepmendagri) No. 300.2.2-2138 Tahun 2025 masuk dalam wilayah Sumatera Utara.
Namun, hari ini Presiden RI Prabowo Subianto menyatakan keempat pulau dimiliki oleh Provinsi Aceh.
Mulanya, Tito mengatakan pada tahun 2008 dan 2009, Gubernur Aceh saat itu tidak memasukkan keempat pulau tersebut ke dalam wilayahnya.”Di tahun 2008 dan 2009 itu, Gubernur Aceh tidak memasukkan keempat pulau yang sekarang kita permasalahkan itu, tidak masuk dalam Provinsi Aceh, tapi adanya di gugusan Pulau Banyak yang lebih kurang 70 kilometer dari empat pulau yang ada sekarang ini,” kata Tito dalam keterangan pers di Kantor Presiden, Kompleks Istana Kepresiden, Gambir, Jakarta Pusat, Selasa (17/6/25).
“Di tahun 2008 dan 2009 itu, Gubernur Aceh tidak memasukkan keempat pulau yang sekarang kita permasalahkan itu, tidak masuk dalam Provinsi Aceh, tapi adanya di gugusan Pulau Banyak yang lebih kurang 70 kilometer dari empat pulau yang ada sekarang ini,” kata Tito dalam keterangan pers di Kantor Presiden, Kompleks Istana Kepresiden, Gambir, Jakarta Pusat, Selasa (17/6/25).
Hingga pada tahun 2017, Kemendagri bersama pihak terkait pernah menggelar rapat dan memutuskan keempat pulau masuk dalam kawasan Provinsi Sumatera Utara berdasarkan dokumen tahun 2008 dan 2009.
Di tahun yang sama, Pemerintah Provinsi Aceh juga pernah mengajukan keberatan kalau empat pulau itu masuk ke dalam wilayah Sumatera Utara dan mengklaim keempatnya masuk ke Kabupaten Aceh Singkil.
“Tapi tanpa koorfinat, koordinatnya salah, nah pada tahun 2017 itu dia (empat pulau) dimasukkan dalam cakupan Sumatera Utara,” ucapnya.
Kemudian berdasarkan Kepmendagri Nomor 050-145 Tahun 2022, tentang pemberian dan pemutakhiran kode, data wilayah pemerintahan dan pulau tahun, empat pulau itu ditetapkan masuk ke wilayah Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera Utara.
Pihak PemProv Aceh menyampaikan protes dan tidak mengakui karena dokumen yang diberikan tak asli, hanya berupa foto copy.
Salah satu dokumen yang diberikan adalah perjanjian antara Gubernur Aceh dan Gubernur Sumatera Utara tahun 1992 dan disaksikan oleh Menteri Dalam Negeri, tentang perjanjian batas wilayah.
“Dengan adanya peta ini, tentu kita mempertimbangkan kemungkinan empat pulau ini masuk ke Aceh, namun saat itu dokumennya hanya dokumen foto copy, kita tahu dalam sistem pembuktian dokumen, foto copy mudah sekali nanti misalnya ada masalah hukum untuk dipatahkan,” jelasnya.
Oleh karena itu, Tito memerintahkan untuk mencari dokumen aslinya. Namun, dokumen aslinya belum ditemukan.
“Sampai dengan April 2025 surat aslinya itu tidak ketemu,” ungkapnya.
Sumber: democrazy.id