
Di tengah pesatnya perkembangan kecerdasan buatan (AI) dan revolusi teknologi global, satu pernyataan dari Jensen Huang—CEO NVIDIA—mengundang diskusi luas di kalangan akademisi, insinyur, hingga pelajar muda. Dalam berbagai forum internasional sepanjang tahun 2025, Huang menyampaikan bahwa kemampuan menulis kode atau coding tak lagi menjadi keterampilan utama di dunia teknologi masa depan. Justru, menurutnya, fisika dan ilmu-ilmu dasar lain akan menjadi penentu masa depan AI.
Pernyataan tersebut terdengar mengejutkan, mengingat Huang adalah sosok di balik kesuksesan GPU NVIDIA—otak dari berbagai teknologi AI modern, termasuk yang digunakan untuk melatih model bahasa besar seperti GPT. Namun, Huang menyatakan bahwa AI generatif kini telah mampu menulis kode secara otomatis hanya melalui instruksi berbasis bahasa manusia. Dengan kata lain, siapa pun kini dapat “memprogram” AI hanya dengan berbicara atau mengetik instruksi, tanpa perlu menguasai bahasa pemrograman seperti Python atau C++.
Dalam pidatonya di London Tech Week 2025, Huang menyebut bahwa “human is the new programming language.” Artinya, bahasa manusia kini menjadi antarmuka utama antara manusia dan mesin. Hal ini menjadi perubahan paradigma besar: dari komputer yang harus diperintah dengan kode, menjadi sistem cerdas yang dapat memahami maksud kita melalui bahasa alami. Ini membuka akses luas bagi masyarakat non-teknis untuk turut berpartisipasi dalam pengembangan AI.
Namun, Huang tidak berhenti di situ. Dalam pidatonya di Beijing, ia memperkenalkan konsep “AI Fisik” (Physical AI)—sebuah gelombang baru dari kecerdasan buatan yang tidak hanya cerdas secara digital, tetapi juga mampu berinteraksi langsung dengan dunia nyata. Contohnya adalah mobil otonom, robot industri, hingga sistem otomatis di bidang pertanian dan perawatan lansia. Menurut Huang, agar AI bisa efektif dalam dunia fisik, dibutuhkan pemahaman mendalam tentang hukum-hukum alam.
“Jika saya berusia 20 tahun hari ini, saya akan mempelajari fisika, bukan ilmu komputer,” ujar Huang. Sebuah pernyataan yang cukup radikal, namun mengandung pesan penting. Tanpa pemahaman tentang gravitasi, gaya, kecepatan, dan kausalitas, AI hanya akan menjadi perangkat lunak pintar yang tidak mampu beroperasi secara aman dan akurat di dunia nyata. Dengan memahami fisika, AI bisa diberi kerangka berpikir yang logis dan konsisten terhadap kenyataan fisik.
Pergeseran ini menunjukkan bahwa masa depan teknologi tidak hanya soal data dan algoritma, tetapi juga soal memahami bagaimana dunia bekerja secara nyata. Ilmu komputer tetap penting, namun Huang menekankan bahwa kombinasi antara sains alam dan kecerdasan buatan adalah kunci revolusi berikutnya. Dalam dunia robotika misalnya, sensor dan aktuator harus dikalibrasi dengan prinsip fisika agar robot bisa menavigasi lingkungan secara efisien dan aman.
Implikasi dari pandangan ini sangat besar, terutama bagi generasi muda. Pendidikan teknologi yang selama ini menekankan coding dan software engineering mungkin perlu dikaji ulang. Huang mendorong pelajar untuk tidak hanya fokus pada keterampilan digital, tetapi juga untuk mendalami sains seperti fisika, kimia, dan biologi, agar mampu menciptakan AI yang benar-benar relevan dan berguna di dunia nyata. “AI tanpa pemahaman fisika adalah software tanpa tubuh,” kata Huang secara metaforis.
Pernyataan Huang juga relevan di tengah maraknya hype seputar AI generatif. Ketika semua orang berbondong-bondong belajar coding karena terdorong tren, Huang justru menyarankan jalan berbeda: mengembangkan pemahaman tentang dunia, bukan hanya instruksi kepada mesin. Pandangannya memperluas cakrawala, menunjukkan bahwa ilmu-ilmu dasar bukanlah lawan dari teknologi, melainkan fondasinya.
Kritikus mungkin menilai bahwa Huang terlalu meremehkan pentingnya ilmu komputer. Namun yang ia maksud bukanlah meninggalkan ilmu komputer sepenuhnya, melainkan mengembalikan fokus pendidikan kepada sains yang bersifat universal dan fundamental. Dalam jangka panjang, AI yang benar-benar bermanfaat adalah yang dapat beradaptasi secara fisik dan sosial dengan lingkungan manusia—dan itu tidak dapat dicapai hanya dengan algoritma canggih.
Maka, pesan utama dari CEO NVIDIA ini sebenarnya adalah ajakan untuk berpikir lintas disiplin. Di era AI modern, penguasaan teknologi harus dibarengi dengan pemahaman mendalam terhadap hukum-hukum alam. Dengan itu, kita tidak hanya menciptakan AI yang pintar, tetapi juga AI yang bijak dan mampu bertindak di dunia nyata.