
Oleh: Imam Maulana
Sedih, marah, kecewa, itulah perasaan yang mungkin anak-anak kita akan alami ketika mereka mendapati bahwa rumah tempat tinggalnya ternyata belum menjadi rumah yang sesungguhnya. Bingung, mereka menyimpan tanya yang sulit tejawab, mengapa jiwanya merasa asing padahal dirinya ada di dalam rumahnya sendiri, bahkan tinggal dengan kedua orang tuanya.
Perasaan-perasaan itu barangkali adalah tumpukan luka yang selama ini tertimbun sedikit demi sedikit, hari demi hari. Dan keadaan tersebut adalah fakta pahit yang harus kita telan bersama penyesalan bahwa kita sangat mungkin menjadi pelaku utama dari luka mereka yang terabaikan.
Anak-anak kita kerap merasa bahwa rumah yang seharusnya menjadi tempat bertumbuh itu justru menjadi tempat yang penuh dengan ancaman, sehingga potensinya malah jadi terpendam. Tempat yang seharusnya paling aman di dunia, justru yang paling menakutkan sehingga tidak berani untuk sekedar bermimpi.
Luka yang mereka rasakan tidak selalu dari bentakan, tetapi juga bisa lahir dari sikap dingin yang terus-menerus. Dari kata-kata yang tak pernah tersampaikan. Dari keringnya pelukan. Dari perhatian yang teralihkan oleh gawai, pekerjaan, atau kelelahan yang tak kunjung selesai.
Ada anak-anak yang terpaksa memendam cerita, sebab terakhir kali mereka cerita, berujung diceramahi tak berkesudahan. Ada yang mengurung diri karena merasa tak akan dipahami. Ada pula yang memilih diam karena tahu, setiap keluhnya hanya akan dianggap drama dan satu kata pamungkas yang menyebalkan; “sabar aja..” tanpa berusaha memvalidasi perasaan. Perlahan tapi pasti, mereka menjauh. Membangun tembok. Bukan dari batu, tapi dari kecewa yang mengeras di dalam dada.
Data Komnas Perlindungan Anak tahun 2024 menunjukkan, rumah tangga adalah lokasi paling banyak terjadinya kekerasan terhadap anak. Pelakunya bukan orang asing, tapi justru orang terdekat—ayah, ibu, saudara, atau orang yang seharusnya menjadi pelindung. Ini bukan sekadar statistik, tapi alarm keras bahwa ada yang salah dalam cara kita membangun rumah.
Jika rumah bukan lagi tempat anak merasa tenang, lalu ke mana mereka harus pulang?
Inilah pintu masuk masalah itu muncul. Anak yang tidak merasakan kehadiran rumah, akan mencari rumah lain yang dapat memenuhi kebutuhan jiwanya. Rumah itu bisa tempat lain atau orang lain yang dapat memmbuatnya nyaman. Tempat dan orang itu, entah akan membawanya ke arah yang baik atau buruk.
Sejatinya, rumah bukan sekadar bangunan dengan atap dan dinding. Ia adalah ruang emosional. Tempat di mana anak bisa meletakkan beban tanpa takut dihakimi. Tempat mereka merasa cukup hanya dengan menjadi diri sendiri. Rumah adalah peluk yang menenangkan saat gagal, tawa yang menguatkan saat cemas.
Banyak diantara kita sibuk mempercantik ruang tamu, merapikan dapur, mengecat ulang kamar anak—tapi lupa merawat ruang paling penting dalam rumah: hubungan. Padahal yang membuat anak betah bukan furnitur baru, melainkan rasa diterima dan dicintai.
Mungkin kita tak selalu bisa jadi orang tua yang sempurna. Tapi kita bisa belajar hadir dengan lebih tulus. Menjadi pendengar yang tak buru-buru menasihati. Menyediakan waktu tanpa harus ditanya. Menawarkan peluk meski tanpa alasan.
Karena anak tak butuh rumah mewah. Mereka hanya ingin rumah yang membuatnya bisa benar-benar pulang, bukan hanya secara fisik, tapi juga secara batin. Tempat ia merasa cukup, aman, dan bisa beristirahat dari kerasnya dunia luar.
Ada kala anak dikecewakan oleh orang lain, maka kembali pulang ke rumah adalah jalan paling benar untuk membangkitkan jiwanya. Ada kala mereka merasa takut bertemu dunia, maka rumah menjadikan jiwanya untuk menjadi pemberani. Ada kala mereka mengalami kegagalan, ada rumah tempat mereka membangkitkan harapan.
Dan jika hari ini kita mendapati rumah kita belum menjadi rumah, tidak perlu menyesal terlalu lama. Lebih baik kita mulai dari sekarang. Belajar kembali menjadi rumah. Karena setiap anak berhak atas rumah yang menenangkan jiwanya. Dan setiap orang tua punya kesempatan untuk memperbaiki rumahnya—bukan dengan bahan bangunan, tapi dengan hati yang bersedia mendengarkan.
Dan sejatinya, rumah itu adalah kita sendiri sebagai orang tuanya. Semoga Allah mampukan kita menjadi orang tua yang lebih baik dari sebelumnya, dan Allah jaga keluarga kita di dunia dan akhirat.